Short Story

A BEAUTY and her prey : prologue

Genre: Novel

Rate. : NC-21

Character: Lana Song

Noah Park

Cho Jun-Young

Lana Song pernah bertanya pada dirinya sendiri: seberapa pentingkah harga diri seseorang?

Apakah kau benar- benar harus menjaga harga dirimu dan menempatkannya di posisi paling atas—melebihi dari apapun? Dan jika di persimpangan jalan nanti kau tak punya pilihan, apakah kau akan mengorbankan dirimu demi harga dirimu—atau sejatinya mereka adalah hal yang satu dan tak bisa dipisahkan? Bahwa mengorbankan harga dirimu sama saja seperti mengorbankan dirimu sendiri?

Tapi bukankah ada banyak orang yang membuang harga diri mereka demi sesuatu yang menurut mereka lebih penting? Contoh paling nyata; uang? Apakah itu sebuah kesalahan besar yang membuat mereka rendah dan jahat? Apakah itu membuat mereka pantas dihina?

Jadi jika Lana melakukan itu sekarang; apakah artinya ia pantas dihina? 

Apakah ia juga sedang melakukan kesalahan besar?

Pria tampan yang duduk di hadapannya saat ini menatapnya dengan sorot mata yang sulit dijelaskan; Lana tak pernah melihat tatapan seperti itu sebelumnya—tidak, bukan berarti ia tidak pernah menerima ketertarikan dari pria lain. Gadis itu memang tidak punya pengalaman yang cukup dengan kaum pria tapi ia tidak bodoh. Lana menerima banyak tatapan yang meskipun seringkali tidak ia perdulikan namun terkadang membuatnya tak nyaman dan merasa seperti dikuliti. 

Tapi sosok yang duduk di hadapannya berbeda—aura yang mengelilinginya saja sudah cukup membuat Lana merasa sangat ketakutan dan terintimidasi. Seperti makhluk dari dua dunia yang jauh berbeda sedang disatukan dalam ruangan yang sama. Bagaimana tidak? Pria itu adalah salah satu orang paling berkuasa di dunia yang selama ini Lana kenal—tidak, bahkan jauh lebih berkuasa dari itu. Saat pertama kali mendengar tentangnya, Lana membayangkan seorang pria paru baya menggelikan dengan pikiran mesumnya tapi pemandangan di depan Lana saat ini membuat semua terasa lebih berat bagi Lana.

Noah Park mengingatkan Lana pada sosok imajinatif yang berbeda dari manusia biasa—entah apa nama makhluk itu. Wajahnya yang rupawan, alis tebal serta sepasang mata bak elang dengan tatapan tajam dan dalam hingga bisa menusuk dadamu. Bibir yang membentuk seringai sinis tapi membuat jantungmu berdetak tak beraturan. Ya, mereka berasal dari dunia yang jelas berbeda dan meskipun berusaha membuat dirinya tegar dan pantas, Lana tahu mereka tak seharusnya berada di tempat yang sama. 

Hanya satu alasan menyedihkan yang membuat Lana dan sosok imajinatif ini dapat berada dalam ruangan yang sama.

“Siapa namamu?”

Lana tertegun sejenak. Suara itu begitu tajam dan berat, membangkitkan bulu romanya. Tapi bukankah seharusnya pria itu tahu namanya?

“L—Lana Song,” Lana bisa mendengar suaranya sendiri yang lemah dan sedikit bergetar lalu mengutuk dirinya sendiri karena tampak begitu kecil dan tak berdaya.

Entah mengapa wajah itu menjadi sedikit tegang tapi kemudian Noah Park menyunggingkan seringai kecil yang sinis, seolah cukup puas dengan jawaban Lana. Entahlah, apa ia sedang merasa terhibur dan menganggap ini permainan? Apa pria itu akan menanyakan usianya? Apakah pria itu akan marah jika tahu selisih usia mereka dan mengusir Lana? Atau seharusnya ini tidak masalah untuknya? Usia dua puluh satu tahun harusnya sudah cukup dewasa lagipula setahu Lana pria ini tidak setua yang dia kira. Mr.Park berhasil melakukan banyak hal hebat di usianya yang masih sangat muda—setidaknya itu yang diberitahukan internet padanya.

“Lana… Song,” ucap pria itu lagi dengan nada yang sengaja ditarik. Ya, itu memang nama yang tidak lazim untuk seorang warga Korea. Lana hanya tahu sedikit tentang silsilah keluarga yang tidak pernah dilihatnya—pada intinya ia adalah produk tak diharapkan yang ditinggalkan di sudut kota di Amerika. Butuh perjuangan besar bagi Lana untuk akhirnya bisa berada di Seoul dan meraih mimpinya.

Mimpi yang, sayangnya, ternyata bergantung pada pria arogan bernama Noah Park.

“Aku menyimpulkan kau sudah tahu aku siapa.” Ucap pria itu dingin.

Lana tak menjawab, memutuskan bahwa itu lebih kepada pernyataan daripada pertanyaan. Tentu saja, kalau tidak menurutnya apa Lana akan berada di sini? Di suite mewah hotel bintang lima?

“Dan kurasa aku tahu mengapa kau bersedia untuk berada di sini.”

Deg. Pipi Lana memerah. Baiklah, setidaknya sudah satu orang yang saat ini menganggap perbuatannya hina. Lana mengalihkan wajahnya untuk menghindari tatapan itu atau sedikit lagi ia akan pingsan.

“M—maaf,” gumam Lana.

Entah mengapa ucapan maaf Luna membuat ruangan itu menjadi hampa udara. Atmosfer yang tadi menegangkan menjadi menyeramkan. Setelah beberapa saat dihiasi keheningan yang menyesakkan pria itu kemudian berbicara.

“Maaf? Pada siapa kau merasa bersalah?”

Sejujurnya Lana tidak tahu kepada siapa ia harus merasa bersalah. Kepada dirinya sendiri? Atau kepada Mr.Park? Mengapa? Bukankah ini seharusnya menjadi seperti ‘transaksi’? Hanya saja dalam hal ini Lana ragu ia bisa benar- benar membuat Noah Park merasa diuntungkan. Ini pertama kalinya bagi Lana sementara ia yakin Mr.Park adalah pria berpengalaman.

“Kita harus memastikannya, nona Song,” Mr. Park terdengar seolah sedang menggodanya tapi cara ia memanggil Lana seperti pria itu menghormatinya, membuat Lana tanpa sadar menengadah dan terkejut ketika kembali bertemu dengan wajah tampan tersebut. “Sebelum kita melanjutkan ini, bahwa baik kau dan aku tak harus merasa bersalah pada siapapun.”

Melanjutkan ini? Mengapa rasanya terkesan… nakal? Entahlah. Lana merasakan jantungnya berdebar kencang. Pria ini bisa memberikan efek yang menakutkan bagi Lana bahkan hanya dengan ucapan serta gerak- gerik singkatnya saja.

“T—tidak,” ketika Lana setuju untuk datang kemari, ia sudah bertekad tidak akan menyesalinya. Itulah untungnya hidup sebatang kara—kau tidak memiliki siapapun yang membuatmu merasa bersalah dan berkhianat.

Mr. Park kembali terdiam, seringai sinis di wajah itu hilang medengar jawaban Lana serta sorot mata dinginnya. Tentu saja pria ini pintar, ia tahu tidak mungkin seorang gadis rela mengorbankan dirinya dengan cara seperti ini jika ia masih memiliki harapan lain dan orang lain yang dihargainya.

“Kalau begitu, kau yakin?”

Tidak. Aku tidak yakin. Satu jam yang lalu Lana tidak yakin ia bisa melakukan ini namun sekarang Lana tidak yakin bisa berlama- lama di bawah tatapan tajam dan aura menakutkan seorang Noah Park.

Tidak mendapatkan jawaban, Mr. Park perlahan berdiri dari sofa itu dan barulah Lana menyadari betapa tinggi dan gagahnya pria itu. Kerah kemeja putih gading bertangan panjang yang dipakai pria itu tampak sedikit kusut—sepertinya ia melewati hari yang cukup berat, jas hitam formalnya menggantung di lengan sofa. Postur tubuhnya ramping namun kekar berotot, postur tubuh yang dikagumi Lana. Pria ini terlalu rupawan dan Lana tidak bisa lagi mengendalikan irama jantungnya. Dan lebih buruk lagi kini pria itu melangkah dengan pelan tapi pasti ke arahnya, seolah sedang menguji kesabaran dan keteguhannya. Setiap bukti sepatu Mr. Park seolah mengirimkan sensasi yang aneh bagi Lana—aroma cologne yang maskulin itu mulai merasuki kepalanya, membuat Lana tanpa sadar mundur satu langkah.

Mr. Park tidak bergeming—apa ia tahu dan sudah terbiasa dengan reaksi para wanita jika berada di dekatnya? Ini tidak adil. Sejak tadi Lana memposisikan dirinya seperti seorang gadis yang tengah terpaksa berkorban. Mengapa pria itu membuat Lana mempertanyakan dirinya?

“Aku akan membuat pertanyaan ini lebih sederhana—” suara serak itu terdengar lebih seperti bisikan dan Lana tidak suka dengan efek yang dihasilkannya. “Jika aku menyentuhmuapa kau akan lari dan pergi?”

Jarak mereka semakin dekat dan Lana yakin sedikit lagi jantungnya akan melompat keluar dari tempatnya. Ini illegal—seseorang tidak bisa begitu mengintimidasi tapi di saat bersamaan menggoda seperti ini.

“Aku—” apa Lana punya pilihan untuk lari? Masa depannya bergantung pada malam ini. “Mr. Park—aku tidak tahu harus menjawab apa.”

Mr. Park mendengus kecil mendengar jawaban jujur Lana, tapi tidak berniat menjauhinya. Kini jarak mereka sangat dekat hingga Lana bisa mendengar detak jantung pria itu dengan jelas. Merasakan nafas hangatnya.

Tidak, itu adalah detak jantung Lana sendiri.

“Kau ragu—” Mr. Park menyimpulkan, Tubuhnya menjulang tinggi hingga Lana harus menengadah agar mata mereka bertemu. “Kau hanya punya kesempatan sekarang untuk lari, nona Song, karena sekali aku memulainya…” Mr. Park menurunkan wajahnya dan berbisik di telinga Lana. “tidak ada apapun yang bisa menghentikanku. Bahkan jika kau meronta dan memohon sekalipun.”

Ini gila—bagaimana bisa bisikan kecil di telinganya membuat sekujur tubuh Lana kacau? Dalam sekejap gadis itu merasa seperti agar- agar dan butuh kekuatan lebih untuk membuat kedua kakinya mampu menopangnya. Lana bisa merasakan pundak polosnya bergerak, memberikan kesan seolah sedang menggoda pria di hadapannya dan entah mengapa bukannya merasa geli, Lana malah merasa sedikit… bergairah?

“Waktu berjalan, nona Song—” desis Noah Park mengancam, menahan efek dari gerak kecil yang dilakukan gadis itu. “aku butuh jawaban sebelum menarik tali gaunmu.” Sejak tadi Noah tengah mencari tahu bagaimana cara membuka gaun yang dipakai Lana Song yang menunjukkan lekuk serta sebagian besar tubuhnya dengan sempurna—ternyata kuncinya ada di tali belakang gaunnya. Noah hanya perlu menariknya dan hanya langit yang tahu apa yang akan Noah lakukan pada Lana.

“Apa kau bersedia untuk melanjutkannya?”

Lana menutup matanya, mencoba mempertahankan akal sehatnya agar tidak mempermalukan dirinya sendiri. Selama beberapa detik Lana meyakinkan diri bahwa alasan ia akan setuju adalah karena ia tidak punya pilihan lain, dan bukan karena Mr. Park berhasil mengacaukan akal sehat Lana melalui gerak- gerik dan perkataannya.

“A—aku bersedi—ah!”

Sebelum Lana sempat menyelesaikan jawabannya, Noah menundukkan tubuhnya, membenamkan wajahnya di lekukan leher jenjang Lana yang menggoda dengan tangan satunya menyentuh tali gaun belakang Lana.

1 thought on “A BEAUTY and her prey : prologue”

Leave a comment