Novel, Romance

The Story of Bear Family; Part 31

First of all, stop leaving ‘unappropriate’ comment on my blog just because my slow update. Aku nggak pernah minta dibayar, bilang harus ninggalin comment pun nggak. Blog aku selalu terbuka kapan aja. Kalian juga nggak tahu kesibukan aku sekarang ini kayak gimana. Menulis ff itu adalah hobi tapi bukan pekerjaan, sama seperti kalian yang pasti punya kesibukan lain selain cuma baca ff doang.

Aku juga nggak akan pernah ‘tertekan’ dengan komentar2 nggak enak jadi jangan buang- buang tenaga kalian. Aku nggak pernah lock blog aku tapi bukan berarti kemungkinan itu nggak ada 🙂

mengingat aku termasuk orang yang simple, aku nggak akan menjelaskan hal- hal yang nggak perlu dijelaskan atau meminta pengertian yang tidak diperlukan.

If you guys are going too harsh blog-nya tinggal gue hapus. Simple kan? 🙂

Anyway, TSOBF akan segera selesai. Thank you for reading, figting!!^^

 

Title: The Story of Bear Family; Part 31

Character: Cho Kyuhyun

Han Sae-jin

Kris Wu


“She will die if you love her not,
And she will die ere she might make her love known.”
–William Shakespeare

Baiklah, dia memang mencintai Kyuhyun. Bukan hanya sekedar rasa kagum dan tergila- gila pada idolamu yang tampan dan memiliki suara seperti cokelat meleleh serta sifat dingin yang humoris. Well, mungkin awalnya seperti itu—dia memang penggemar Cho Kyuhyun, meskipun bukan fans fanatik yang rela seharian menunggu di depan studio atau gedung agensinya untuk dapat melihatnya secara langsung dan memotretnya. Dan mungkin perasaan seperti itulah yang mempengaruhi Sae-jin hingga membuatnya berpikir bahwa apa yang dia rasakan pada Cho Kyuhyun sebelum ini tidaklah tulus dan dia tidak pantas menerima apapun dari Cho Kyuhyun, meskipun dia tengah mengandung anaknya.
Mungkin dia memang belum mengatakannya. Itu juga bukan hal yang sulit; ini tidak seperti mengakui perasaanmu pada senior populer di sekolahmu. Dia juga tidak akan ditolak atau semacamnya; justru Kyuhyun telah terlebih dahulu mengatakan perasaannya. Bisa dibilan semuanya telah dipermudah untuk Han Sae-jin. Dia hanya perlu mengatakan dia juga mencintai Kyuhyun, lalu pria itu akan senang mendengarnya, dan selanjutnya Sae-jin tidak sanggup membayangkannya.
Bisa dibilang; mengakui perasaannya tidaklah sesulit itu.
Lalu mengapa sekarang ini dia tegang setengah mati di dalam mobil Kyuhyun?
Ini toh bukan kali pertama mereka berdua saja di dalam mobil. Pada dasarnya mereka selalu berdua di rumah maupun di mobil. Kalau begitu, makhluk memalukan apalagi yang saat ini sedang merasukinya hingga membuat sistem tubuhnya menjadi abnormal? Jantungnya berdebar sangat kencang hingga rasanya mau terlepas dari dadanya dan sepertinya produksi keringatnya meningkat. Dia memang sering mengalami ini bila Cho Kyuhyun berada di sekitarnya tapi Sae-jin sempat mengira kesadarannya tadi sore setidaknya bisa membuat keadaannya lebih tenang dan terkendali.
Ternyata dia keliru.
“Han Sae-jin,” suara berat Kyuhyun menyela Sae-jin dari lamunannya. “Apa kau baik- baik saja?”
“O—oh.” Jawab Sae-jin dingin.
“Kenapa kau keringatan seperti itu?” tanya Kyuhyun heran, sepertinya sedari tadi dia tidak hanya memusatkan perhatiannya pada jalan di depannya. “Apa itu normal pada ibu hamil?”
Sae-jin tersenyum kecil, bersyukur bahwa wajahnya cukup tersembunyi oleh penerangan minim di dalam mobil.
“Aku tidak apa- apa.” Kata Sae-jin meyakinkan. Meskipun Kyuhyun selalu menanyakan semua jenis pertanyaan dengan nada datar yang sama tapi Sae-jin sekarang sudah cukup mahir membaca perasaan pria itu yang sebenarnya. Saat dia sedang marah, tersinggung, bercanda, dan khawatir seperti sekarang ini.
“Kalau begitu, apa kau keringatan karena sedang memikirkan yang tidak- tidak?”
“Tidak juga—maksudku—“ Sae-jin tersadar lalu menutup mata dan menggigit bibirnya. Dia bisa melihat senyum kecil di wajah menyebalkan Cho Kyuhyun meskipun tatapannya tidak beralih sama sekali dari jalan. “Aku tidak memikirkan apa- apa!”
“Aku tahu, aku tahu.” Kata Kyuhyun polos. “Mana mungkin seorang Han Sae-jin memikirkan yang tidak- tidak?” nada bicara Kyuhyun menekankan seolah- olah bahwa ide yang baru saja dia katakan satu menit yang lalu adalah hal yang sangat mustahil.
“Turunkan aku.” Perintah Sae-jin dingin.
“Sedikit lagi kita sampai.”
“Aku mau jalan kaki.”
“Waktu jogging sudah lewat, Han Sae-jin.”
“Turunkan aku, Cho Kyuhyun!” protes Sae-jin lagi.
Kyuhyun terkejut sejenak tapi kemudian mengikuti perintah istrinya sebelum gadis itu melompat dari jendela atau semacamnya; meskipun tentu saja dia tidak mungkin bisa lolos lewat jendela dengan ukuran perut seperti itu. Kyuhyun menepikan mobilnya di pinggir jalan besar dan membiarkan gadis itu membuka pintu lalu turun.
Sae-jin menarik napas panjang. Dia tidak perduli; sudah cukup dia tidak dapat mengontrol tubuhnya sendiri selama beberapa jam terakhir dan Cho Kyuhyun seolah mempermainkannya sedari tadi. Gadis itu tidak perduli apakah ini berhubungan dengan hormon kehamilannya atau tidak tapi dia sedang tidak ingin berada lama- lama di sekitar Cho Kyuhyun!
“Han Sae-jin ayolah,” kata Kyuhyun, berjalan mendekati Sae-jin sementara gadis itu membelakanginya dan menutup mata. “Aku hanya bercanda.”
“Aku tahu,” kata Sae-jin pelan, tidak repot- repot berbalik dan menatap wajah Kyuhyun.
“Bisakah kita masuk ke mobil dan pulang lalu tidur?” tanya Kyuhyun lagi, dengan suara memelas, menurunkan kepalanya dan menyandarkan dahinya di pundak Sae-jin yang masih tegang. “Hari ini cukup melelahkan…”
Sae-jin menarik napas panjang. Apa dia terlalu berlebihan? Tapi jantungnya pun masih berdebar- debar sampai sekarang dan aroma tubuh Kyuhyun di dekatnya membuatnya semakin parah. Kalau begini terus bisa- bisa janinnya juga terpengaruh.
“Han Sae-jin.” Suara Kyuhyun terdengar sangat dekat di telinganya hingga membuatnya bergidik kaget. Kyuhyun mengangkat kepalanya. “Kau tidak apa- apa? Aku bisa mendengar detak jantungmu cepat sekali.” Kali ini dia terdengar khawatir.
Sial. “B—benarkah?” tanya Sae-jin panik, menempelkan telapak tangan kanannya di dadanya. Benar, bahkan dia bisa merasakan jantungnya seolah menempel di kulit dadanya.

Kyuhyun kemudian berjalan lalu berhenti tepat di depan istrinya dan memperhatikannya dengan serius. “Pipimu juga sangat merah. Kau kenapa?”
Sae-jin bergidik, menempelkan kedua telapak tangannya di pipinya yang terasa panas. Apa- apaan ini? Dia seperti mendapatkan reaksi alergi karena kontak dengan sesuatu yang tidak biasanya.
“Sepertinya kau demam.” Ujar Kyuhyun, menekan punggung tangannya di dahi Sae-jin membuat gadis itu otomatis menjauhkan kepalanya dan mengalihkan tatapannya pada tanaman- tanaman di pinggung jalan. Rasanya seperti diestrum listrik dan mungkin dalam beberapa detik gadis itu bisa pingsan. Reaksi Sae-jin tersebut sepertinya disalahartikan oleh Kyuhyun. Pria itu menghela napas pendek, memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celananya sambil menatap istrinya.
“Baiklah—aku tidak akan mengganggumu lagi.” Ujar Kyuhyun. “Lakukanlah apa yang kau inginkan tapi—setidaknya aku harus mengikutimu dari belakang dengan mobil.”
Sae-jin menengadah hingga matanya bertemu dengan tatapan Kyuhyun yang dingin tapi jelas menyiratkan perasaan terluka. Tidak, bukan itu maksudnya. Dia memang mengakui gangguan pada sistem di tubuhnya ini bersangkutan dengan Cho Kyuhyun tapi bukan karena pria itu membuatnya merasa terganggu.
Kyuhyun kemudian berbalik dan pergi ke mobilnya, mengambil jaket hitam yang tadi diberikannya pada Han Sae-jin, melingkarkannya di tubuh istrinya yang sedang menggigil kedinginan, kemudian tanpa mengatakan apapun pria itu berbalik kembali ke mobilnya.
“Aku mencintaimu.”
Langkah Cho Kyuhyun kontan terhenti. Sesaat dia mengira dia sedang mendengar suara di kepalanya sendiri tapi kemudian tersadar bahwa yang didengarnya adalah suara perempuan yang tak lain adalah Han Sae-jin.
“Aku—aku tahu kau mungkin sudah mendengarkan kata- kata ini berkali- kali. Tapi bagiku, ini—ini pertama kalinya aku mengatakannya dan merasakannya.”
Kyuhyun perlahan berbalik dan menatap istrinya dingin. Sae-jin sendiri terlihat gugup; kedua tangannya memainkan ujung jaket hitamnya dengan gelisah sementara kedua matanya melihat ke berbagai arah kecuali ke pria di depannya yang adalah suaminya sendiri.
“Aku terus mengatakan pada diriku sendiri bahwa aku tidak pantas merasakannya. Kau sudah bertanggung jawab untukku dan melepaskan perasaanmu pada gadis yang kau cintai; bagaimana mungkin aku berani mencintaimu? Tapi—“ Sae-jin mendesah, “semakin lama aku tidak bisa menyangkalnya. Bagiku, kau adalah pria paling hebat yang pernah aku temui di dunia ini dan kau berhak mendapatkan seluruh hal yang kau inginkan jadi—“
Cho Kyuhyun masih tidak menjawab, wajahnya juga tidak menunjukkan dia ingin mendengar penjelasan Sae-jin selanjutnya. Pria itu mendengus kecil, berdehem lalu berkata.
“Mungkin karena ini pertama kalinya kau mengakui perasaanmu jadi kau belum tahu. Tapi saat kau mengakui perasaamu pada seseorang, kau tidak perlu menjelaskan hal- hal lainnya—“ pria itu berjalan mendekati istrinya yang saat ini kebingungan, “—apalagi bila orang itu hanya perlu mendengar bahwa kau mencintainya atau tidak.”
Sae-jin menengadah.
“Bisakah kau mengatakannya sekali lagi?”
Sae-jin masih tertegun menatap Kyuhyun yang saat ini menurunkan wajahnya dan bersiap mencium gadis itu. Sae-jin otomatis mundur satu langkah tapi pria itu menahan pundaknya dengan kedua tangannya.
“Aku…”
“Baiklah. Aku akan mempermudah pertanyaanku. Apakah kau mencintaiku, Han Sae-jin—ssi?
Sae-jin menatap bibir Kyuhyun yang saat ini sangat dekat dengan bibirnya, kemudian tertawa kecil.
Aku mencintaimu, Cho Kyuhyun.”
Kyuhyun tersenyum sebelum kemudian menempelkan bibir mereka. Sesungguhnya dia hanya perlu mendengarkan kalimat itu dari Sae-jin; bahwa gadis itu juga mencintainya. Meskipun dia telah bersabar dan memberikan Sae-jin waktu untuk menyadari perasaannya sendiri. Meskipun dia percaya bahwa perasaannya pada gadis itu tulus tanpa mengharapkan balasan; dan setiap hari dia selalu berpikir apalagi yang bisa dia berikan pada Han Sae-jin.
Selama sesaat dia kehilangan kesadaran bahwa mereka saat ini sedang berada di pinggir jalan raya dan meskipun keadaan malam itu cukup sepi, beberapa orang yang lewat menatap mereka dengan terkejut dan heran—untungnya mereka cukup rasional untuk tidak mengeluarkan ponsel mereka dan mengambil gambar.
Tapi Cho Kyuhyun tidak perduli; karena tidak ada yang lebih membahagiakan selain menemukan bahwa orang yang kau cintai juga membalas perasaanmu.
Dan dia percaya, Sae-jin juga merasakan hal yang sama.
“Aku mencintaimu, Sae-jin.” kata Kyuhyun pelan setelah bibir mereka dengan berat hati saling melepaskan satu sama lain. “Dan kau juga gadis paling hebat yang pernah aku temui di dunia ini.”
Kyuhyun bisa merasakan pipi Sae-jin yang sebelumnya tersipu kini semakin memerah. Pada dasarnya dia menyukai semua reaksi gadis itu atas perkataannya kecuali, tentu saja, saat gadis itu menangis karena ulahnya.
“Kurasa, tidak semua orang harus bertemu dengan jodoh mereka melalui cara seperti cerita dongeng.” Kata Sae-jin lembut.
Kyuhyun mengangguk. Pertemuan mereka memang sedikit tidak biasa dan diwarnai dengan banyak kejadian tapi sekarang setelah dipikir- pikir dia rela mengalami semuanya asalkan dia hidup bersama Sae-jin. Asalkan gadis itu mencintainya. Asalkan gadis itu tidak pergi dari kehidupannya.
“Baiklah kalau begitu.” Kyuhyun menghela nafas dan menatap lurus jalan di depan mereka; uap putih keluar dari mulutnya karena cuaca yang sangat dingin malam itu. Pria itu kemudian menggenggam tangan Sae-jin yang, entah mengapa, terasa sangat hangat.

“Bagaimana kalau kita jalan sekarang?”
“Jalan?” tanya Sae-jin heran. “T—tapi mobilmu?”
“Aku bisa menyuruh orang membawakannya besok.” Kata Kyuhyun, melambaikan tangan dengan remeh. “Aku ingin punya alasan untuk menggenggam tangan istriku lebih lama lagi.”
Sae-jin tersenyum, menatap kedua tangan mereka yang saling menggenggam. Kenapa dia baru menyadarinya sekarang; bahwa tangan kecilnya terlihat sangat cocok dalam genggaman tangan Kyuhyun yang kekar dan besar?
Gadis itu kemudian menengadah lalu menatap Kyuhyun yang belum melepaskan pandangannya dari wajah cantik istrinya.
“Kalau begitu kau juga harus berjanji; tidak akan melepaskanku sampai kapanpun.”
Kyuhyun mendengus kecil, kemudian memasukkan kedua tangan mereka yang saling menggenggam ke dalam saku jaketnya yang besar.
“Tidak akan pernah.” Katanya setengah berbisik.
Sae-jin mengangguk puas, membiarkan Kyuhyun menariknya pergi, berjalan dengan pelan dan tenang ke gedung apartemen mereka yang jaraknya tidak begitu jauh, membiarkan tatapan terkejut dari orang- orang yang berjalan di sekitar mereka. Tapi Sae-jin tidak keberatan; dia dulu juga seperti itu, menganggap Cho Kyuhyun sebagai sosok idola yang menarik tapi asing. Sampai sekarang pun dia masih belum bisa mempercayai keajaiban yang mempertemukan mereka berdua dan membuat mereka hidup bersama sebagai pasangan suami istri. Gadis itu bahkan mengandung dan sebentar lagi akan melahirkan bayi mereka ke dunia. Singkatnya, orang- orang pasti berkata dia sedang menjalani kehidupan seperti di cerita drama.
Bagi orang- orang menikahi idolamu sendiri memang seperti sebuah keajaiban.
Tapi bagi Han Sae-jin, Cho Kyuhyun adalah keajaiban itu sendiri.

*

“YAH!!! CHO KYUHYUN!! CEPAT BANGUN!!”
“Sedikit lagi—“
“BANGUN, CHO KYUHYUN! KAU BILANG KAU HARUS REKAMAN SAMPAI SORE!”
“Tidak apa- apa—aku bisa terlambat sedikit—“
“Tidak bisa—“ protes Sae-jin, dengan kewalahan duduk di samping Cho Kyuhyun yang masih tidur terlentang dengan pulas di bawah selimut hangatnya. “Yesung Oppa sudah menghubungimu dari tadi!”
“Sejak kapan informasi seperti itu membuatku takut?” tanya Kyuhyun dengan suara serak menggeliat malas di bawah selimut; tidak berniat membuka matanya.
“Kau bilang kau tidak boleh terlambat hari ini.” Protes Sae-jin sebal; kehabisan tenaga karena sedari tadi berteriak membangunkan suaminya, yang sejauh ini bahkan tidak mampu membuat pria itu menggeserkan tubuhnya satu sentimeter saja dari tempat tidur.

Cho Kyuhyun tidak menggubrisnya. Dalam hati Sae-jin bertanya- tanya bagaimana sikap seorang pria bisa begitu mudah berubah? Semalam dia seperti tokoh utama drama romantis di TV dan pagi ini dia kembali menjadi… dirinya sendiri yang menyebalkan dan susah dibangunkan.
Dan mendengkur seperti babi.
Sae-jin menghela nafas. Cho Kyuhyun selalu bersikap sangat protektif terhadap keadaan fisik dan emosional Sae-jin, tapi di sisi lain pria itu sendiri yang sering membuat emosi Sae-jin terganggu.
“Cho Kyuhyun.”
“…”
Air ketubanku pecah.
“APA?!?!”
Cho Kyuhyun kontan duduk tegap, kedua matanya terbuka lebar tanpa menunjukkan tanda orang yang baru saja bangun tidur. “Ketubanmu pecah? Kapan? Di mana? Kenapa aku tidak mendengarnya?” serang pria itu sambil memperhatikan tubuh Sae-jin dari atas ke bawah dengan khawatir; kedua tangannya seperti ingin memegang perut Sae-jin tapi berusaha kuat menahannya karena ngeri.
“Bagaimana kau bisa mendengar ketuban pecah? Kau pikir ini pot bunga?” tanya Sae-jin datar. Kyuhyun terdiam sejenak; ekspresi ngeri dan bodoh masih terlihat di wajahnya selama beberapa menit sebelum kemudian menyadari dia baru saja ditipu.
“Cepat mandi. Aku sudah memesan bubur abalon.” Kata Sae-jin galak, dengan susah payah bangkit berdiri dari tempat tidur dan berjalan cepat meninggalkan kamar, meninggalkan Cho Kyuhyun yang masih tidak percaya dengan apa yang baru saja dilakukan Sae-jin padanya.
“YAH!!!”

*

Han Sae-jin meneguk susu untuk ibu hamil di dalam gelas besar dengan wajah ceria seperti seorang anak kecil yang sedang menghabiskan susu stroberi, tidak menyadari tatapan tajam Kyuhyun di seberang meja, mengunyah apapun yang dimasukkan sendok itu ke dalam mulutnya dengan tidak berselera. Sulit dipercaya. Bagaimana mungkin gadis polos yang sedang menghabiskan susu seolah minuman itu sumber kehidupannya ini baru saja menipunya dengan mengatakan ketubannya pecah? Apa dia benar- benar Han Sae-jin, istrinya? Mungkin saja Kyuhyun semalam tidur terlalu lelap hingga tidak menyadari kedatangan alien yang merasuki gadis itu.
“Kenapa? Buburnya tidak enak?” tanya Sae-jin heran, melebarkan matanya. “ini kupesan di tempat biasa.”
“Kau bilang ketubanmu pecah.” Tuntut Kyuhyun, menatap Sae-jin seperti elang yang sedang menghakimi mangsanya sendiri karena diperlakukan dengan tidak adil.
Sae-jin berhenti minum. “Aku? Kapan?” tanyanya polos.
Kyuhyun menatap gadis itu sejenak, menutup mata lalu menahan napas, mencari sisa kesabarannya sementara Sae-jin kembali meneguk susunya dengan wajah tak berdosa.
“Kau pikir itu lucu, Sae-jin? Bagaimana kalau ketubanmu benar- benar pecah?” protes Kyuhyun.
“Kalau benar- benar pecah aku tidak akan setenang itu, Cho Kyuhyun.”
Kyuhyun menghela napas lalu menahan tangan Sae-jin yang baru saja mengangkat gelasnya untuk mendapatkan perhatian penuh darinya. “Maksudku—bila itu benar- benar terjadi, dan aku tidak ada di sini untuk membawamu ke rumah sakit.”
Sae-jin mengerjap- ngerjapkan matanya.
“Aku tidak benar- benar memikirkannya, tapi kau telah memberikanku alasan untuk bekerja dengan tidak tenang seharian ini.”
Wajah Cho Kyuhyun terlihat sangat serius dan sedih; seolah dia benar- benar berfikir itu akan terjadi dan dia bisa saja tidak berada di situ untuk menyelamatkan istrinya. Mau tidak mau Sae-jin mulai merasa bersalah; apakah bercandanya keterlaluan?
“Itu tidak akan terjadi.” Ujar Sae-jin sungguh- sungguh. “Dan bila itu terjadi, kupastikan kau berada di sekitarku untuk menolongku. Puas?”
Kyuhyun menarik lengannya.
“Kerjalah dengan baik dan jangan terlalu mengkhawatirkanku.”
“Kalau begitu berjanji satu hal lagi.”
“Apa?”
“Kau bisa membangunkanku dengan berbagai cara; tapi tidak dengan cara yang itu. Setuju?”
“Setuju.” Jawab Sae-jin. Kyuhyun mengangguk, kemudian melanjutkan makannya dengan lebih tenang—tapi kembali terhenti ketika gadis di depannya tiba- tiba memegang lehernya dengan kedua tangannya dan menutup mata seperti kesusahan untuk bernafas.
“Cho Kyuhyun—sepertinya aku sesak napas—“

“YAH HAN SAE-JIN!!!”

*

“Laptop?”
“Cek.”
“Buku?”
“Cek.”
“iPod?”
“Cek.”
“Baiklah.” Sae-jin melipat kedua tangan di atas perut besarnya. “Kau sudah siap.”
Kyuhyun berdiri setelah mengikat tali sepatunya, menyampirkan kedua tali tas ransel di salah satu pundaknya, mengambil topi hitam kegemarannya dari kepala Sae-jin yang nyaris menutupi setengah wajah gadis itu karena kebesaran, lalu memakainya di kepalanya sendiri.
“Aku pergi dulu—pegang terus ponselmu karena setiap jam aku akan menelponmu. Oke?”
Sae-jin memutar kedua bola matanya tapi mengangguk. Kyuhyun menepuk- nepuk kepala istrinya dengan singkat kemudian berjalan ke pintu depan, lalu berhenti sejenak, menatap Sae-jin selama beberapa detik, seperti menunggu sesuatu.
“Apa?” tanya Sae-jin heran.
“Kau tidak akan melakukannya?”
“Melakukan apa?”
Wajah Kyuhyun terlihat sangat putus asa, seperti seorang guru frustasi karena tidak berhasil membuat muridnya mengerti rumus perkalian yang sederhana. Pria itu menghembuskan nafas berat; berjalan mendekati istrinya yang masih tetap di tempatnya dengan ekspresi kebingungan kemudian tangan kanannya dengan cepat menangkup wajah istrinya dan mendekatkan wajah mereka—tapi Sae-jin menjauhkan wajahnya, meskipun tidak cukup jauh dari wajah tampan suaminya yang sudah bersiap untuk menciumnya.
Andwe (tidak boleh)” ujar Sae-jin cepat, menutup mulut dengan kedua tangannya.
“Kenapa?” tanya Kyuhyun dingin, tidak bergerak dari posisinya.
“Rambutku berantakan, aku belum mandi—dan wajahku bengkak—“
“Rambutmu memang selalu berantakan—terutama saat kita berciuman—aku selalu suka menghirup baumu—dan, kita selalu menutup mata saat berciuman jadi aku tidak akan menatap wajah bengkakmu—mengerti?”
“Tapi—“
Kalimat Sae-jin disela oleh Kyuhyun yang langsung menarik wajah istrinya dan melumatkan bibir mereka selama beberapa detik. Sae-jin perlahan menyerah dan menutup matanya, menikmati apapun yang dilakukan Cho Kyuhyun saat itu padanya. Setelah beberapa menit yang menakjubkan, Kyuhyun kemudian melepaskan tautan bibir mereka, mengecup bibir gadis itu sekali lagi kemudian berbisik.
“Sekedar informasi.” Bisiknya, “wajahmu yang bengkak saat berciuman sangat lucu.”
“CHO KYUHYUN!” teriak Sae-jin dengan wajah merah seperti udang, sementara pria itu hanya tersenyum simpul dan berjalan keluar diikuti oleh langkah berat istrinya.
“Yah, ini masih pagi dan aku harus membersihkan hadiah- hadiah ini,” keluh Sae-jin, melihat tumpukan hadiah yang menggunung; sebagian besar dibungkus dengan kertas kado berwarna biru tua dan stiker kartun wajah Kyuhyun. Sae-jin memang bersyukur dengan fakta bahwa Kyuhyun tidak kehilangan cinta dari penggemarnya setelah semua ‘skandal’ yang ada, bahwa mereka selalu ‘menghiasi’ lorong depan pintu kediaman Kyuhyun dengan berbagai jenis hadiah.
“Tapi kau yang memakai semua hadiahnya.” Protes Kyuhyun. “Kau hanya menyisakan arloji dan wine untukku.”
“Jadi aku salah?”
“Tidak.” Ujar Kyuhyun secepatnya kemudian tersenyum lebar.
Sesuatu menarik perhatian Sae-jin. Sebuah buket bunga berukuran sedang diletakkan di atas tumpukkan hadiah; dibungkus kain linen yang cantik. Sae-jin bermaksud untuk berlutut dan mengambil buket bunga tersebut tapi Kyuhyun menahan pundaknya.
“Kenapa?”
Kyuhyun mengerutkan keningnya, menatap tajam karangan bunga tersebut seolah dia bisa meledak kapan saja.
“Cho Kyuhyun—ayolah, apa yang bisa bunga ini lakukan padamu?”
Kyuhyun tidak menjawab, tapi berlutut dan mengambil buket bunga itu, memperhatikannya dari segala sisi seolah mencari barang tajam yang mungkin diselipkan di antaranya.
“Oh—bunga itu untukmu.” Sae-jin membungkuk sedikit dan menunjuk kartu kecil yang menempel di buket.
For: Kyuhyun Oppa.
“Aigoo… lihatlah—bunga untuk Kyuhyun Oppa,” ujar Sae-jin dengan geli dan sedikit mencemooh. “Sepertinya mereka sama sekali belum pernah mendengarmu mendengkur dan membongkar isi lemari yang telah seharian dirapikan.” Gadis itu mendorong pundak Kyuhyun. “Cepat pergi—dan berikan bunganya padaku!”
Kyuhyun masih memperhatikan bunga itu sejenak, mungkin dia memang sedikit berlebihan. Aroma bunga ini juga sangat lembut; sejujurnya dia jarang menerima buket bunga sebagai hadiah, mungkin itulah yang membuatnya heran.
“Oh—tulisannya bahasa Prancis.” Sae-jin telah mengambil bunga itu dari tangan Kyuhyun. “Mungkin artinya; ‘Kyuhyun Oppa, pelankan sedikit dengkuranmu’, atau ‘Kyuhyun Oppa, berhentilah mengintip istrimu saat dia sedang mengganti baju’.”
Kyuhyun tertawa kecil lalu mengecup dahi Sae-jin. “Aku akan pulang cepat. Telpon aku kalau ada apa- apa, okay?”
Sae-jin mengangguk, memperhatikan punggung Kyuhyun yang berjalan menjauh dan menghilang dari koridor panjang.
“Aku bohong.” Gumam Sae-jin lembut, menatap karangan bunga di tangannya. “Kau pantas dicintai seperti ini, Cho Kyuhyun.”

*

Cho Kyuhyun menghabiskan satu jam terakhir di depan komputer studio sambil mendengarkan beberapa lagu yang baru saja mereka rampungkan untuk dirilis beberapa bulan ke depan. Sepertinya produser mereka sangat puas dengan kesuksesan proyek solo Kyuhyun; sekarang pria itu dipercayakan untuk menulis lirik dan membantu tim produser dalan pembuatan lagu. Kyuhyun memutar- mutar lagu yang sama sedari tadi, memperhatikan bagian- bagian yang menurutnya masih kurang sesuai lalu menulisnya di dalam buku catatan.
“Bukankah sudah waktunya kau mengambil cuti?” tanya produser Kim yang sedari tadi beristirahat di sofa panjang. “kau bilang istrimu sebentar lagi melahirkan.”
“Ini adalah hari terakhir kerjaku—setelah itu aku akan menggunakan seluruh jatah cuti.” Jawab Kyuhyun dingin, menekan tombol ‘play’ di keyboard.
Produser Kim tertawa. “Benar juga—kau jarang sekali cuti; sekarang berliburlah selama yang kau mau, lalu rawatlah istri dan anakmu.”
“Dengan senang hati.” Ujar Kyuhyun datar tapi menyembunyikan senyum lebarnya. Dia hanya perlu mengerjakan bagiannya dan setelah itu dia akan meminta cuti yang cukup lama agar bisa menghabiskan waktu bersama Sae-jin dan bayi mereka; yang akan lahir dalam hitungan hari. Setiap kali memikirkannya dia merasa lebih puluhan kali lebih bersemangat untuk menyelesaikan pekerjaannya.
Suara dering ponsel di meja menarik perhatiannya; Kyuhyun mengerutkan kening ketika melihat nomor yang tak dikenal muncul di layar. Sebaiknya bukan telepon gelap karena dia sedang tidak ingin berbaik hati.

*

“Apa kau… benar- benar sudah meminta ijin padanya?” tanya Sae-jin polos, menyipitkan matanya. Lebih daripada tidak percaya—dia keheranan.
Ekspresi wajah pria yang duduk di depannya sekarang tampak benar- benar tersinggung; Kris meletakkan kembali cangkir kopinya di atas meja dengan sedikit lebih kasar.
“Yah, Han Sae-jin—tidakkah kau sedikit keterlaluan? Sekarang ini aku satu- satunya teman yang kau punya.” protes Kris.
“Bukan itu maksudku—tapi, bagaimana kau bisa mendapatkan nomor Kyuhyun?”
“Kami di agensi yang sama, Han Sae-jin—kalau kau lupa.” Jawab Kris tenang, tapi entah mengapa Sae-jin bisa menangkap nada getir dari penjelasan Kris.
“Apa terjadi sesuatu?”
“Tidak—dia bilang terserah kau akan mengiyakan ajakkanku atau tidak.”
“Bukan itu maksudku.” Kata Sae-jin lagi, “apakah terjadi sesuatu padamu?”
Ekspresi Kris berubah ketika mendengar pertanyaan gadis di depannya. Sepertinya ada alasan ia sampai rela menghubungi Cho Kyuhyun untuk ‘meminta izin’ mengajak Sae-jin keluar—gadis itu nyaris pingsan tadi ketika melihat Kris berdiri di depan pintu rumahnya. Meskipun di sisi lain, fakta bahwa Kyuhyun secara tidak langsung ‘mengijinkan’ Sae-jin pergi lebih mengejutkan lagi. Ataukah Kyuhyun sebenarnya berharap Sae-jin akan menolaknya?
“Rupanya kehamilan tidak mengurangi kemampuanmu untuk membaca isi pikiranku.”
Sae-jin tersenyum. “Kau satu- satunya teman yang kumiliki saat ini—ingat?”
“Bukankah sudah begitu dari dulu, Han Sae-jin?” tanya Kris sinis, mengangkat cangkir dan meneguk kopinya lagi.
Sae-jin tertawa, kemudian mengaduk- aduk isi iced cappuccino-nya. Mungkin salah satu hal yang membuatnya tak akan pernah bisa membalikkan punggungnya dari Kris adalah karena dalam situasi apapun, dialah yang selalu mengatakan kejujuran pada Sae-jin, sepahit apapun kejujuran itu. Kris tidak pernah suka banyak bicara sejak kecil, dia juga tidak terlalu suka bergaul dengan banyak orang. Tapi dia juga sangat mengasihi orang yang penting dalam hidupnya. Dan Sae-jin merasa beruntung menjadi salah satu dari sedikit orang tersebut.
“Sepertinya, kita tidak akan bertemu dalam waktu yang cukup lama, Han Sae-jin.”
“Kenapa? Kalian akan pergi tur lagi?”
“Aku keluar dari SM.”
Sae-jin berhenti mengaduk minumannya, menengadah dan memberikan perhatian penuhnya pada Kris. Selama beberapa saat mereka saling bertatapan, dan dia rasa dia masih bisa membedakan mana raut muka bercanda dan serius Kris. Kali ini pria itu serius.
“K—kenapa? Apa mereka melakukan sesuatu padamu? Tidak—apa kau sakit?”
Kris hanya tersenyum simpul lalu menggeleng. “Ini salahku. Saat itu aku masih terlalu muda dan terlalu cepat memutuskan untuk mengejar mimpi—tapi sayangnya aku tidak tahu apakah itu benar- benar adalah mimpiku.” Kris meneguk kopinya lagi. “Sebelum semuanya terlambat, aku ingin kembali menegaskan apa yang ingin kuraih dan bagaimana caranya. Hanya saja, bukan di sini tempatnya.”
“Kalau begitu di mana?”
“Di tempat asalku.” Jawab Kris. “Sesungguhnya aku ingin melakukannya dari dulu—hanya saja, aku tidak ingin meninggalkan sahabatku yang tiba- tiba harus menikah dengan idola terkenal dan menerima banyak sekali masalah karenanya.
“Tapi sekarang, sepertinya tidak ada yang perlu kukhawatirkan. Aku tidak mengatakan bahwa pria itu lebih baik dalam menjagamu daripada aku tapi—setidaknya dia bisa melakukannya. Lagipula, kau tampak bahagia bersamanya.”
“Aku memang bahagia.” ujar Sae-jin bersungguh- sungguh, “aku juga tidak ingin lagi bersikap cengeng dan selalu bergantung pada orang lain, sekalipun itu adalah Kris Mu.”
“Itu cukup menyedihkan—“ Kris tersenyum, “tapi setidaknya kau membuatku sadar bahwa aku juga harus berubah menjadi lebih dewasa.” pria itu tertawa kecil ketika melihat ekspresi Sae-jin, “aku serius.”
“Bisakah kau tidak bicara yang aneh- aneh?” ledek Sae-jin, “aku ingin menghabiskan kue cokelatku dalam damai.”
Kris kembali tertawa; memperhatikan gadis cantik di depannya yang sedang sibuk mengagumi kue cokelat yang terkenal di kafe ini, sesekali mengomel betapa Kris sangat pelit dan tidak setia kawan karena jarang sekali mengajaknya makan padahal penghasilan yang didapatnya tidak sedikit.
Han Sae-jin mungkin tidak seglamor ratusan gadis di luar sana yang selalu berada di sekitar Kris. Dia juga tidak pandai merias dirinya—juga tidak pandai menarik perhatian pria. Tapi bagi Kris, Han Sae-jin adalah gadis paling cantik dan mempesona yang pernah dikenalnya. Sae-jin tidak perlu bekerja keras merias dirinya untuk terlihat cantik; dia juga tidak perlu melontarkan kalimat- kalimat sok pintar untuk menunjukkan kejeniusannya, atau menjelek- jelekkan orang lain untuk melucu. Sae-jin sempurna hanya dengan menjadi dirinya sendiri.
Sejak dulu semua orang di sekitar mereka selalu mengatakan bahwa Sae-jin seperti ‘bayangan’ Kris dan selalu bersikap manja padanya, tapi Kris tidak setuju. Baginya, tanpa Sae-jin, mungkin hidup Kris akan jadi tak berarti. Orangtuanya bercerai dan Kris harus hidup berdua saja dengan ibunya yang depresi karena ditinggalkan ayah Kris dengan wanita lain. Setiap hari Kris harus menyaksikan pertengkaran orangtuanya dan menjadi bahan omongan orang lain. Di umur semuda itu Kris merasa hidupnya sangat hampa dan kehadirannya hanya menyusahkan orangtuanya.
Tapi semuanya berubah ketika dia bertemu dengan Han Sae-jin. Gadis kecil itu memiliki nasib yang juga tidak beruntung; tapi dia justru menunjukkan pada Kris bahwa dia memiliki segalanya; seorang kakek yang baik hati dan sayang padanya, kehidupan yang tidak lebih tapi berkecukupan. Seolah- olah Sae-jin punya banyak cinta untuk dibagikan pada orang lain, meskipun pada kenyataannya gadis itu juga menerima begitu banyak ketidakadilan. Awalnya Kris mengira Sae-jin hanyalah gadis malang yang harus dilindungi… tapi waktu terus berlalu dan gadis itulah alasan dia bertahan hingga sekarang ini.
Setiap detik dihabiskan Kris dengan penyesalan karena dia tidak meminta gadis itu lebih dulu; tapi sekarang…
“Yah, makan pelan- pelan, Han Sae-jin!” tegur Kris, “kau mau membuatku malu?”

*

“Toko bunga?”
Kris mengerutkan kening menatap pajangan bunga di depan toko kecil lewat jendela mobilnya.
“Tunggu di sini sebentar,” Sae-jin melepaskan seatbelt, “aku cuma mau beli pot bunga,” ia itu menunjuk karangan bunga di kursi belakang. Kris memperhatikan dalam diam gadis itu dengan susah payah keluar dari mobil dan mengambil karangan bunga di kursi belakang, berjalan dengan riang menuju ke toko bunga itu.
Terakhir kali Sae-jin mengunjungi toko bunga ini adalah bulan lalu. Toko ini adalah salah satu tempat favoritnya dan dia mungkin akan lebih sering datang kemari kalau bukan karena Kyuhyun yang selalu mengeluh rumah mereka sebentar lagi akan menjadi taman bunga.
“Oh—lama tidak bertemu, Sae-jin—ssi,” sapa gadis cantik di meja kasir dengan senyum senang ketika melihatnya. Sae-jin membalas senyum gadis itu, “Joo-eun—ssi, aku butuh bantuanmu.”
“Tentu saja. Apa yang bisa kubantu?”
“Pagi ini aku mendapat kiriman bunga,” Sae-jin meletakkan karangan bunga yang sedari tadi dipegangnya di atas meja, “aku butuh pot bunga yang cantik untuknya.”
Joo-eun tertawa kecil; sejak pertama kali Sae-jin datang mengunjungi toko ini, mereka berdua menemukan kecocokkan karena sama- sama menyukai bunga. Bedanya, Joo-eun adalah ahli tanaman yang sangat menguasai segala jenis bunga, sementara Sae-jin hanya bisa mengagumi dan memelihara mereka di rumah.
Joo-eun mengambil karangan bunga itu dan memperhatikan beberapa jenis bunga dengan berbagai warna di dalamnya. Senyum di wajah gadis cantik itu perlahan memudar, dan kedua keningnya mengerut membentuk tautan.
“A—ada apa?” tanya Sae-jin bingung melihat perubahan ekspresi Joo-eun. “apa ada yang salah?”
“Tidak—“ Joo-eun tertawa kecil, meskipun masih tampak bingung, “Hanya saja, siapa yang mengirimi bunga ini padamu?”
Sae-jin terdiam sejenak, tapi kemudian menjawab. “Temanku. Memangnya kenapa?”
“Suasana hati temanmu sepertinya sedang kurang baik—atau dia memang sedang dirundung masalah?” Joo-eun memutar- mutar buket bunga itu dengan saksama, memperhatikan segala jenis bunga di dalamnya, “semua bunga ini adalah pertanda duka.”
“N—neh?”
Joo-eun menyodorkan buket bunga itu ke depan wajah Sae-jin, menjelaskan arti bunga di dalamnya satu persatu. “Entah ini kebetulan atau tidak, meskipun warna bunga- bunga ini sangat cantik, tapi arti dari bunga ini tidak begitu baik,” Joo-eun menunjuk bunga yang berwarna merah, “merah tua ini adalah mawar, dan merah segar ini adalah corn poppy. Yang putih ini adalah bunga chrysanthemum, putih yang satu lagi adalah lily. Warna oranye ini adalah bunga marigold,”
Sae-jin mengikuti ke mana pun arah bunga yang ditunjuk Joo-eun.
“Dalam kepercayaan Eropa, semua bunga ini melambangkan kematian.”
Deg.
“K—kematian?”
Joo-eun mengangguk. “Lagipula, setelah dipikir- pikir—semua jenis bunga ini tidak gampang ditemukan. Mereka berasal dari berbagai tempat dan sejujurnya, aku sudah lama tidak melihatnya. Sepertinya temanmu sedang sangat ingin menunjukkan padamu bahwa dia sedang berduka?”
Sae-jin tidak menjawab, mau tidak mau pikirannya berputar keras sementara Joo-eun pergi ke gudang di belakang untuk mencari pot bunga. Sesaat dia mengira Joo-eun hanya bercanda tapi ekspresi gadis itu menandakan yang sebaliknya. Ini mungkin hanya kebetulan tapi menurut penjelasan Joo-eun, sepertinya tidak mungkin seseorang mengumpulkan jenis- jenis bunga yang sulit untuk didapatkan dan memiliki arti kematian, lalu mengirimkannya. Bukankah begitu? Ataukah Sae-jin terlalu jauh berpikir?
Tapi kalau memang pengirim bunga ini tahu arti dari karangan bunga yang dikirimnya, mengapa dia mengirimkan bunga ini pada Cho Kyuhyun?
Sae-jin kemudian menarik kartu ucapan dari buket bunga tersebut lalu membaca tulisan Prancis itu lagi.
Si je ne vous ais
Personne ne peut le faire
Semula dia mengira ini adalah ungkapan Prancis lazim yang ditulis di kartu ucapan. Mungkinkah artinya berbeda?
Beberapa menit kemudian Sae-jin berjalan ke arah parkiran tempat mobil Kris sambil memeluk pot bunga berukuran sedang dengan karangan bunga di dalamnya. Ekspresinya masih menunjukkan kebingungan, begitu banyak pikiran tidak- tidak berkecamuk dalam kepalanya hingga dia harus menegur dirinya sendiri karena begitu gampang terpengaruh. Tapi Joo-eun benar—mengapa seseorang repot- repot mengirimkan karangan bunga seperti ini?
“Kenapa kau lama sekali sih?” tanya Kris ketika Sae-jin masuk ke dalam mobil, memeluk pot bunga itu dengan tatapan hampa. “Yah, kau kenapa?”
Sae-jin menatap Kris. “Apa kau tahu bahasa Prancis?”
Kris mengerutkan kening. “Kenapa tiba- tiba kau bertanya?”
Sae-jin memberikan kartu ucapan yang dipegangnya sedari tadi kepada Kris. Kris membaca tulisan di kartu itu kemudian mengambil ponselnya. “Sekarang jaman sudah canggih, Han Sae-jin.” Pria itu mengetik tulisan yang dibacanya kemudian menunggu selama beberapa detik, lalu menyodorkannya pada Sae-jin.
Si je ne vous ais
(jika aku tidak dapat memilikimu)
Personne ne peut le faire
(maka orang lain juga tidak bisa)
Deg.
“Apa pengirimnya adalah penggemar suamimu?” Kris mendengus, “sepertinya masih posesif dan tidak rasional seperti dulu.”
Sae-jin tidak menjawab, memperhatikan tulisan itu seolah- olah berusaha mendapatkan maksud dibaliknya. Wajarkah bila seorang penggemar mengirimkan karangan bunga pertanda kematian dengan tulisan seperti itu? Bahkan bila seorang penggemar fanatik sekalipun?
Mengapa dia merasa sangat gelisah seperti ini?
“Yah, aku juga sering menerima surat ancaman untuk tidak punya pacar. Itu hanya sikap kekanak-kanakkan mereka, tidak usah diambil hati.” Hibur Kris yang sepertinya bisa membaca ekspresi Sae-jin.
Yah, mungkin memang seperti itu.
Dering ponsel menarik Sae-jin dari lamunannya. Gadis itu mengambil ponselnya dalam tas dan membaca pesan yang baru saja masuk dari nomor yang tak dikenal.
Sepertinya kau benar. Seandainya aku percaya padanya dan benar- benar tulus mencintainya, aku tidak akan melepaskannya.
Aku tidak akan pernah melepaskannya. Karena itu kau tidak akan pernah boleh memilikinya.
Detik berikutnya tangan Sae-jin bergetar.
Kuharap kau suka karangan bunga yang aku kirim.
—Shin Saeryung.

*

“Dia mengangkat telponmu?”
“Tidak—“ keluh Sae-jin panik, menghembuskan napas berat, di saat seperti ini rasanya bernapas pun sangat sulit. Rasanya seperti ada tali yang mengikat perut dan dadamu dan semakin kau bernapas ikatan itu semakin dipererat. Tenggorokanmu pun tak bisa menelan apapun tanpa menimbulkan sensasi nyeri yan tak biasa. Sejujurnya dia ingin pingsan tapi dia tahu dia harus cukup sadar untuk menghubungi Cho Kyuhyun.
“Semua nomornya tidak aktif.” Katanya lagi, menahan keinginan untuk melempar ponselnya ke luar jendela.
“Mungkin dia sedang rekaman.” Gumam Kris. “Tapi bila terjadi sesuatu mereka pasti akan menghubungimu, Sae-jin—ah.”
Kalimat Kris tidak membantu—justru membuat tingkat kepanikan Sae-jin semakin tinggi. Dia tidak ingin terjadi apapun terjadi pada Kyuhyun! Tiba- tiba pandangan Sae-jin mengabur. Baiklah, benar- benar waktu yang tepat untuk mengeluarkan air mata.
“Bagaimana ini? Aku harus tiba di sana sebelum Shin Sae-ryung—“ kata Sae-jin.
Kris tidak menjawab, berkonsentrasi mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi sambil berusaha untuk tidak menyambar mobil lain. Meskipun begitu, ekspresinya terlihat sangat mengerikan, seperti menahan amarah yang sangat besar.
“Maafkan aku.” Ucapan Kris memecah kesunyian, “seharusnya aku berusaha lebih kuat untuk menghentikannya.”
“Neh?”
“Gadis itu punya banyak sekali rencana jahat dan aku pikir aku telah cukup jelas menggambarkan padanya kemampuanku untuk menghancurkannya jika dia berani melukaimu lagi. Aku hanya tidak menyangka dia akan melakukan ini—“ Kris terlihat sangat menyesal.
Sae-jin menutup mata, wajahnya bersimbar air mata dan jantungnya serasa bisa meledak kapanpun. Ya Tuhan, jangan biarkan apapun terjadi pada Cho Kyuhyun. Sae-jin sibuk mengucapkan berbagai janji dan sumpah dalam kepalanya asalkan Cho Kyuhyun tidak apa- apa.
“Aku mohon…” gumam Sae-jin, mengunci kedua tangannya, menggengam ponsel itu erat- erat dan menangis menahan sesak. Kris sekilas menatap gadis itu sambil mengemudi kemudian menghela nafas frustasi.

*

Gangnam-dong merupakan daerah yang selalu ramai setiap waktunya. Setelah perjalanan satu jam yang dapat ditempuh Kris hanya dalam setengah jam, mereka memasuki jalanan menuju studio tempat rekaman Kyuhyun yang sialnya dipenuhi dengan mobil- mobil yang diparkir di setiap sudut dan para pengunjung lain.
“Kris, aku pergi dulu.” Kata Sae-jin tanpa menunggu jawaban Kris yang masih berusaha untuk mendapatkan tempat parkir, melompat turun dari mobil dan berjalan berusaha menembus kerumunan pengunjung dengan susah payah. Dia tidak menghiraukan panggilan Kris dari dalam mobil—dia bahkan tidak menghiraukan apapun lagi; tatapan heran orang- orang di sekitarnya karena wajah paniknya yang bersimbah air mata atau mungkin beberapa penggemar Kyuhyun yang mengenalinya. Benaknya sekarang dipenuhi perasaan takut. Dia harus menemui Kyuhyun.
Cho Kyuhyun dalam bahaya.

Sae-jin bisa mendengar nafasnya sendiri dan mendengarkan debaran jantungnya yang sangat kencang. Setelah beberapa menit yang rasanya memakan waktu setahun akhir dia bisa menerobos kerumunan pengunjung itu dan berjalan dengan susah payah menulusuri deretan gedung mewah di depannya, mencari nama studio yang disebutkan Kris tadi. Dia harus memberitahukan Kyuhyun apa yang terjadi, dia tidak boleh membiarkan apapun terjadi padanya.
“Han Sae-jin!”
Gadis itu berhenti ketika mendengar suara yang sangat familiar—suara yang sedari tadi ingin didengarnya. Sae-jin berbalik dan menemukan Cho Kyuhyun di seberang jalan, berdiri di depan gedung berdekorasi klasik dengan papan nama studio yang Sae-jin cari, tampak sangat terkejut melihatnya. Mau tidak mau air mata lebih deras membasahi pipi Sae-jin, tapi kali ini dia menangis lega. Rasanya seperti ikatan di dada dan perutnya akhirnya terlepas.
“Ada apa? Kenapa kau di sini?” tanya Kyuhyun khawatir, berjalan menghampirinya yang masih berdiri tertegun di sisi jalan lain.
“Kyuhyun—aku—“ Sae-jin tertegun ketika tanpa sadar matanya menangkap sebuah sosok di atap gedung tak jauh dari studio Kyuhyun, berpakaian hitam lengkap, menodongkan sesuatu ke arah mereka.
Oh tidak—
“AWAS!!!”
Sae-jin tidak bisa memikirkan hal lain lagi—yang ada di pikirannya adalah Cho Kyuhyun tidak boleh mati. Dalam hitungan detik dia menarik Kyuhyun ke arahnya dan berikutnya dia mendengar ledakan dan perasaan sakit yang teramat sangat di dadanya—semuanya tiba- tiba menjadi kabur—terdengar keributan di sekelilingnya tapi yang saat ini menemaninya adalah teriakan Kyuhyun yang memanggil- manggil namanya, serta wajah ngeri Kyuhyun yang mulai memudar.

 

Detik kemudian semuanya menjadi gelap.

 

683 thoughts on “The Story of Bear Family; Part 31”

  1. sebulanan ga buka blog ini, ngarep ntr pas dibuka udh update, tp belummmmmm uuuuuuu T.T
    udah seneng banget sama ini ff, jadinya sering di baca ulang
    kangen sama han sae jin uuhh
    kepo bener lanjunya gmna, ntr lanjutnya jgn sad ending yah kakk heheh

  2. Terakhir update april, sekarang udah november…
    Huuuuaaaa eonni kapan update???😩😩
    Tiap ada waktu aku pasti tengok blog ini.
    Berharap sudah update..😞😞
    Tetapi sebagai ganti aku sering baca ulang tsobf ini…
    Masih aja gak bosen walaupun udah baca berkali-kali…😊😊😊
    Semangat eonni….
    Semoga kesibukan mu cepat selesai.
    Dan bisa cepat update 😉😉😉😉

  3. Gak pernah bosen baca ff ini. Meski udh pernah baca part-nya. Ngulang lagi juga ga masalah selagi nunggu lanjutan wkwk. Sukses bikin penasaran, apa yg akan terjadi pd saejin

  4. woah ga kerasa udh nunggu 7 bulan. dan kalo ga salah udh 3 tahunan ya dari part 1? apa engga? gatau lupa hehe. semangat ya kak tetep dilanjutin. keep writing and fighting !!! 😀

  5. Hai aq reader lama tp baru komen 😊 slm knal…
    Aq ska bgt sama ff ini👍 Slh stu ff yg pling d tunggu klnjutannya…

  6. Aku udah mbaca part ini 7 kali masa’😂

    Kakak lanjut dong yaaaaa. Ini cerita bagus banget looooooo. Ya kak yaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa.

    Pliiiiiiissssssssssssssssssssssss

    Muah

    Semangat!!
    Love uuuu💓

  7. Kangen sama karya kamu kak vanilla ^^
    semoga kakak tetep bisa melanjutkan hobi menulisnya yaa, karena cerita yang dibuat kak vanilla baguss semuaa… hehe
    Semangat yaa Kak Vanilla, Reader Love Youuu..

  8. Thor… Kapan part 32 nya di up date?? Maaf sebelumnya kalau aku terkesan memaksa author untuk ngelanjutin ff ini padahal author juga gak di bayar. Tp pliss thor… Kasihanilah readermu ini yang udah setia nunggu kelanjutan TSOBF hampir satu tahun. Cukup tamatkan ff ini di chap 32, biar aku gak penasaran. Aku janji deh thor gak akan ganggu2 author lagi

  9. Kak maaf baru komen lagi kemaren2 gx ada email jadi susah, nanti kedepannya bakal komen ko. Kak updatenya jangan lama2 yahh soalnya disini bikin penasaran banget itu siapa yang meninggal, klo kata aku si tuan yoon. Dan semoga happy ending, soalnya kasian haejin dari kecil hidup menderita trs kalo dia mata, hidup dia sengsara amat . Kak ini ff favorit aku kak soalnya ceritanya kayak beneran gimna gituu pokoknya seru banget dehh 😀

  10. Hah bner pan Sae Ryung gak bkalan mudah ngelepasin Cho krena dia itu bner2 obsesi sma Cho -_- smoga SaeJin baik2 saja sma Baby.nya

    Sae Ryung emng krang kerjaan -_- gmna tuh nsib SaeJin?? Ksihan atuh dia msih blum tahu ibu kndungnya siapa 😦

  11. Shin saeryung belum menyerah juga ,, padahal kyuhyun dan sae jin lagi bahagia bahagianya ,semoga sae jin baik baik saja

  12. God gw seneng banget, jadi gw gabut dan gw nyoba cek apa ff ini udh di lanjut, dan ternyata udh end:’)) gilaa aja ya gw sempet mikir ini ff ga bakal dilanjutin karena lama hehe
    ff ini one of my fav ff:’)) butuh waktu lama yabuat nunggu ff ini
    Keep writing ya thor:)) makasi udah di lanjutin ff ini^^

    Ps:gw blum baca ceritanya mau baca ulang dari awal karna udah lupa gw baca sampe mana dan gmna jalan ceritanya dan kalo gw baca lagi bearti ini kali ketiga gw baca ff ini:)

  13. itu saejin kena tembak ya please jangan meninggal dong ….
    itu saeryung jahat banget karena ga bisa ngedapatin kyu dia sampai mau ngebunuh dan kini saejin yang kena….

Leave a reply to zahra Cancel reply